Jumat, 12 April 2013

[Idaman_Group] Titik Nol (78): Dunia Memang Kecil

 

Titik Nol (78): Dunia Memang Kecil

by Agustinus Wibowo on Monday, March 4, 2013 at 7:55am ·

Kisah petualangan keliling dunia jalan darat ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Titik Nol" oleh Gramedia Pustaka Utama.

 

Benteng Amber. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Titik Nol (78): Dunia Memang Kecil

 

Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera.

 

Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil.

 

Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya.

 

          "Kalau aku suka sekali melihat benteng.," kata Lam Li, "Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini." Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi.

 

Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya.

 

Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, benteng itu nampak bersinar kuning keemasan memanjang menampilkan sudut-sudut yang penuh ornamen.

 

Benteng Amber sejatinya bukan hanya benteng, tetapi juga istana. Karena itulah ukurannya begitu besar dan megah. Tetapi tetap saja, walaupun bangunan ini memesona, di mata saya tetap saja bangunan mati yang dikerubungi turis. Belum lagi kalau mengingat harga tiket masuknya yang mahal.

 

           "Andaikan ini Tibet," kata Lam Li, "pasti sudah kupanjat dan kulompati tembok-temboknya."

 

Walaupun perempuan, Lam Li jauh lebih jago dalam urusan lompat-melompat tembok. Waktu di Tibet dulu, ia mencukur botak rambutnya untuk menyamar sebagai bikuni, hanya untuk bisa gratis masuk kuil-kuil Lama yang mahal sekali tiketnya. Selain itu, ia punya kebiasaan sebelum masuk selalu mengelilingi tembok luar kuil, mencari dinding rendah atau celah yang bisa dilompati. Saya dulu sempat berbangga beberapa kali masuk gratis dengan lompat-lompat tembok. Ternyata Lam Li jauh lebih hebat, ia berhasil masuk hampir semua kuil di Tibet timur sampai perbatasan Nepal, dan semuanya berkat keahlian lompat temboknya.

 

Lam Li, sang backpacker perempuan yang tangguh. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

           "Sayang di India tembok-tembok bangunan kuno semua kokoh dan tinggi, sulit dilompati," keluhnya.

 

Hari ini ia mengenakan rok merah jingga sepanjang mata kaki. Feminisme yang sungguh kontras dengan rambutnya yang nyaris botak.

 

          "Namanya juga benteng," tukas saya, "kalau turis saja bisa lompat dengan mudah, apalagi kalau diserang pasukan musuh, pasti langsung hancur."

 

Dengan berat hati pula kami membayar harga tiket masuk Benteng Amber. Harganya 180 Rupee, sedangkan orang India membayar tidak lebih dari 10 Rupee. Bukan rasa ketidakadilan sebenarnya  yang membuat berat, tetapi harga tiket itu cukup menyakitkan untuk ukuran dompet saya yang memang sudah tipis.

 

          "Jangan kuatir," kata Lam Li seolah membaca pikiran saya, "di setiap kota kita cuma akan mengunjungi satu tempat saja yang mesti bayar tiket. Dengan demikian kita masih bisa mengirit tetapi tidak sampai rugi."

 

Bagian dalam Benteng Amber sangat luas. Selain pintu gerbang yang tinggi berpuncak dua kubah, juga ada barisan benteng panjang, istana, kuil untuk Dewa Ganesh, sampai ruangan khusus para selir. Benteng Amber memang bukan cuma sekadar benteng. Sejatinya ia adalah sebuah kompleks istana yang lengkap bak sebuah kota kecil di puncak gunung. Menyusuri pintu-pintu yang bersambungan, lorong-lorong yang berliku, kami merasa seperti berada di rumah sesat dari masa lampau.

 

Lam Li memang berjiwa petualang. Walaupun matahari semakin terik, dia masih bersemangat mencoba memasuki semua lorong dan pintu, hingga kami menemukan tempat-tempat paling tersembunyi dari istana ini.

 

Lam Li dalam aksinya. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

           "Apa rencana perjalanan kamu setelah India?" saya bertanya, ketika kami menuruni bukit terjal kembali ke jalan raya.

           "Aku ingin ke Pakistan, Afghanistan, Iran, terus sampai ke Eropa, dan dari sana lewat Rusia, Mongolia, China, jalan darat terus sampai ke Malaysia."

 

Saya terkesima oleh rencana perjalanannya yang tidak biasa. Seorang gadis, seorang diri, punya ambisi petualang yang begitu dahsyat.

 

Lam Li mengingatkan saya pada seorang petualang wanita Malaysia lainnya yang pernah saya jumpai di stasiun kereta api kota perbatasan Mongolia tiga tahun silam. Si gadis Malaysia itu juga punya cita-cita sama seperti Lam Li, berangkat dari Malaysia lewat Kamboja, Vietnam, China, Mongolia, terus naik kereta api Trans-Siberia lewat Rusia sampai ke Eropa. Perjalanan si gadis itu menjadi inspirasi saya akan sebuah perjalanan akbar yang akan terus dikenang sepanjang hayat. Si gadis Malaysia itulah yang membuat saya bermimpi, terus bermimpi, hingga akhirnya saya berada di sini, di tengah perjalanan keliling dunia.

 

Sayang, karena gagal mendapatkan visa Rusia, si petualang Malaysia itu malah terdampar di Beijing dan menginap di apartemen saya selama seminggu lebih.

 

          "Hati-hati dengan visa Rusia," saran saya pada Lam Li, "saya pernah dengar kisah petualang Malaysia yang ditolak visanya." Saya lalu menceritakan tentang pengalaman si gadis Malaysia yang menjadi inspirasi hidup saya itu.

 

Tiba-tiba raut muka Lam Li berubah. Ia berteriak.

 

          "Hei!!! Jangan kau bilang bahwa kita kenal orang yang sama!"

 

Siapa sangka, Lam Yuet, petualang Malaysia yang saya jumpai tiga tahun lalu, adalah kakak kandung Lam Li.

 

          "Bodohnya kau....," kata Lam Li, "hampir dua bulan sudah kita jalan bersama, kenapa baru sekarang boleh faham?" 

 

Lam Li sering bercerita tentang kakak perempuannya yang berkeliling dunia, tetapi tak pernah sekalipun terbersit di pikiran saya bahwa kakaknya yang ia sebut-sebut itu tak lain dan tak bukan adalah idola hidup saya.

 

What a small world! Dunia memang kecil.. Perjalanan adalah perambahan dunia dengan meraba-raba. Terkadang tak sengaja kita menemukan takdir manusia yang terjalin dengan begitu rapi, bak kisah drama yang penuh dengan kebetulan. Bahkan di tempat tak berkesan ini, saya menemukan sebuah takdir perjodohan.

 

 

(Bersambung)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Idaman_Group] Titik Nol (77): Idul Fitri di Kota Merah Jambu

 

Titik Nol (77): Idul Fitri di Kota Merah Jambu

by Agustinus Wibowo on Friday, March 1, 2013 at 8:54am ·

Kisah petualangan keliling dunia jalan darat ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Titik Nol" oleh Gramedia Pustaka Utama.

 

Suguhan Idul Fitri.(AGUSTINUS WIBOWO)

 

Titik Nol (77): Idul Fitri di Kota Merah Jambu

 

 

Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur.

 

Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu.

 

Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa.

 

Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, mengagumi keteraturan kota ini dari pesebaran para pedagang. Di satu blok, semua toko menjual makanan, blok lain khusus perhiasan, ada blok pedagang kasur charpoi, sampai daerah khusus tukang besi, tikar, sepeda, dan penjual timba. Karena klasifikasi dagangan yang begitu rapi, begitu kami berada di sudut penjual tikar, maka tak tahulah kami di mana bisa mendapat makanan untuk mengisi perut yang keroncongan.

 

Lalu lintas padat, klakson sambung-menyambung. Semua anjing tidak berjalan atau berlari, tetapi melompat-lompat karena salah satu kakinya buntung (atau dibuntungi?). Penduduk hilir mudik ke pasar dan kuil, masih dalam kesibukan merayakan Diwali. Tetapi yang paling menjengkelkan adalah tukang rickshaw dan pemilik toko yang berseru dengan kasar, "Halo! Halo! Japani! Chini! Korea!"

 

Hawa Mahal. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Dulu saya menikmati orang-orang Kathmandu yang punya hobi menebak kewarganegaraan orang asing. Tetapi di sini tidak mungkin rasanya menikmati panggilan dingin dan anonim 'Halo! Halo!' tanpa henti, plus sebutan 'Japani' yang semata-mata dipenuhi pikiran untuk mengeruk dompet turis.

 

Aman, pemilik losmen tempat saya menginap, tertawa berderai.

 

          "Itulah India. Mungkin tahun depan kita harus mengganti slogan pariwisata menjadi 'Halo India'. Cocok sekali bukan?"

 

Aman dan adik-adiknya sedang asyik menonton film Bollywood terbaru, action tembak-tembakan dan kejar-kejaran yang seru ber-setting negeri Eropa. Film India, seperti biasa, penuh dengan lagu-lagu dan ratusan penari yang secara ajaib muncul entah dari mana. Tetapi Aman selalu melewati bagian ini. Begitu musik dan lagu dimulai, ia langsung memencet tombol Fast Forward.

 

Nonton film untuk buang waktu, kata Aman. Hari ini masih diliputi suasana Diwali, jalanan sepi dan bisnis lagi lesu. Besok adalah hari Idul Fitri. Di musim liburan ini, semua masih dalam suasana malas.

 

Daripada bengong di losmen, Aman mengajak saya dan Lam Li untuk merayakan Idul Fitri di rumahnya. Pagi-pagi, selepas waktu salat Ied, kami dijemput dengan sepeda motor ke rumah mereka di pinggiran Jaipur. Walaupun losmennya tampak kumuh, tetapi rumah Aman terbilang megah dan bagus.

 

Nenek tua, ibu kandung Aman, langsung menciumi kami berdua. Beliau memperlakukan kami seperti anggota keluarga sendiri. Setelah jidat saya dicium, saya membalas dengan mencium tangannya. Kaum perempuan di keluarga itu sudah menyambut, dengan pakaian berwarna-warni. Bocah-bocah juga riang gembira, berlarian ke sana ke mari dengan baju baru.

 

Keluarga Aman di hari Eid. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Aman sudah banyak cerita tentang kami berdua kepada keluarganya. Bahkan sebelum kami datang ke sini pun, nenek tua sudah tahu baju apa yang bakalan saya pakai – shalwar kamiz dari Pakistan, dipadu rompi Afghan dan peci Indonesia.

 

Tanveen, adik ipar perempuan Aman, sedang menempuh pendidikan S-3 bidang sosial politik. Ia adalah perempuan menyenangkan yang selalu penuh semangat ketika berbicara, menyiratkan impian dan cita-citanya yang tinggi.

 

          "Pokoknya, kalian berdua harus berjanji untuk datang tiga minggu lagi," katanya, "adik perempuan kami akan menikah. Kesempatan bagus untuk belajar tradisi Muslim India, bukan?"

 

Piring demi piring tersaji di hadapan kami. Ada bihun bening yang kuahnya manis sekali. Ada pula mithai dan barfi, yang rasanya seperti menelan gula bulat-bulat.

 

          "Idul Fitri, makanannya kebanyakan memang manisan. Cocok untuk perayaan sesudah berpuasa satu bulan penuh. Nanti kalau Idul Qurban, makanannya daging semua, dan didominasi rasa asin," jelas Tanveen menjawab keheranan saya.

 

Tetapi kami tentu saja tak disuguhi cuma manisan. Selain teh susu, ada pula kerupuk kecil warna-warni dan samosa daging yang rasanya jauh lebih lezat berlipat-lipat daripada makanan sehari-hari yang saya santap dari warung pinggir jalan.

 

          "Makanan rumah tangga India jauh lebih sedap, lebih sophisticated daripada yang dijual di restoran," Lam Li berkomentar.

 

Nenek Aman memberikan kami uang jajan Idul Fitri, dibungkus kertas, disematkan ke dalam saku. Jumlahnya ganjil – 22 Rupee. Angka yang tidak bulat dalam tradisi India dianggap lebih membawa keberuntungan.

 

Gembira di hari raya. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Halaman rumput di depan museum kota Jaipur juga dipenuhi orang yang menikmati liburan Idul Fitri. Kami sebenarnya ingin melihat museum, tetapi tutup. Orang-orang yang di halaman langsung mengerubungi kami berdua, seperti tak pernah lihat orang asing.

 

Seorang gadis cantik umur delapan tahunan datang mendekat. Bajunya merah, masih baru, sama sekali bukan tanda-tanda orang miskin. Tangannya menengadah, "One penOne pen!" Dengan galak, Lam Li menyemprot dalam bahasa Inggris, "Kecil-kecil jangan belajar jadi pengemis!"

 

Nampaknya ayah ibunya juga sedang piknik di hari libur. Melihat anaknya meminta-minta dari orang asing, mereka malah tertawa gembira. Lam Li, merasa ikut bertanggung jawab, malah menceramahi si gadis kecil tentang harkat dan martabat.

 

Tiba-tiba saya mendarat dalam rangkulan pria. Ada tujuh orang, bergiliran merangkul saya dengan hangat dan emosional. "Selamat hari Ied. Eid Mobarak!" Semua larut dalam kegembiraan hari raya.

 

 

(Bersambung)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Idaman_Group] Titik Nol (75): Diwali

 

Titik Nol (75): Diwali

by Agustinus Wibowo on Monday, February 18, 2013 at 9:37am ·

Kisah petualangan keliling dunia jalan darat ini diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Titik Nol" oleh Gramedia Pustaka Utama.

 

Aneka ragam manisan menyambut Diwali. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Titik Nol (75): Diwali

 

Di tengah kegelapan malam, bunyi ledakan petasan bersahut-sahutan. Semua gembira menyambut datangnya Diwali.

 

Malam nanti adalah malam Diwali, hari raya terpenting bagi umat Hindu, Sikh, dan Jain di India. Saya berjalan ke arah kota kuno Jaipur ketika matahari baru mulai bersinar. Kota tua dikelilingi tembok berwarna merah jingga. Bentuknya kotak persegi, dengan gerbang kota masing-masing di utara, selatan, timur, dan barat.

 

Di gerbang barat, pagi-pagi begini sudah ramai orang berjualan bunga berwarna kuning dan merah yang diuntai menjadi kalung panjang. Di hari Diwali ini, ribuan umat membanjiri mandir – kuil Hindu yang tersebar di mana-mana. Untaian bunga-bungaan ini dikalungkan ke patung dewa dewi dalam mandir.

 

Selain bunga dan sesajen, Jaipur juga penuh manisan dari berbagai bentuk, warna, dan ukuran. Ada ladduyang berupa manisan bulat seperti bola, terbuat dari tepung yang berbalut cairan gula. Ada mithai dari susu. Ada pula barfi yang berbentuk kotak dan beralas kertas perak. Semua manisan ini rasanya cuma satu – manis. Segigit saja rasanya sudah seperti menelan bersendok-sendok gula yang dicampur susu.

 

Acara paling penting dalam Diwali adalah sembahyang puja di malam hari. Setiap tahun, waktu untuk melaksanakan puja Diwali berbeda. Orang harus mendengarkan informasi terbaru dari radio tentang saatpuja yang tepat. Perhitungannya dilakukan oleh orang suci yang mengkalkulasi pergerakan bulan dan bintang. Kata Aman, tahun ini acara puja yang paling sempurna dilaksanakan pukul 19:52 sampai 20:08, atau delapan menit sebelum dan sesudah pukul delapan.

 

Diwali, festival cahaya, dihias ribuan lilin yang berkelap-kelip di atas diya di seluruh pelosok kota. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

           "Saya ingin sekali melihat sembahyang puja," pinta saya kepada Aman.

           "Jangan khawatir, nanti kamu pergi dengan adik sepupu saya saja," katanya

           Bukankah keluarga Aman adalah umat Muslim?

           "Tak masalah," Aman menukas, "Ada seorang kawan baik saya yang orang Hindu. Tadi saya sudah tanya mereka, katanya boleh ajak kamu."

 

Sebagai Muslim India, saya merasa Aman sangat berbeda dengan tipikal Muslim di negara tetangga Pakistan. Bukan saja ia sering tak berpuasa, malah katanya ikut acara puja Diwali sama sekali tidak masalah.

 

Malamnya, saya dibonceng sepupu Aman ke kota kuno Jaipur. Suasana perayaan semakin terasa. Jalanan penuh oleh orang berjalan kaki. Jalan raya diblokir, kendaraan tak boleh lewat. Kami harus putar-putar sampai setengah jam lebih baru sampai di tempat umat Hindu kenalan Aman.

 

Rumah ini besar sekali. Lantainya keramik. Nampaknya memang bukan keluarga biasa. Teman Aman adalah seorang dokter, termasuk keluarga kasta Brahmin yang cukup terpandang. Di dahinya ada seoles coretan tika warna merah. Kami langsung menuju ruang sembahyang.

 

Di ruangan ini lampu dimatikan. Di sudut ruangan ada gambar Dewa Ganesh yang berwajah gajah dan Dewi Lakhsmi – dewi kemakmuran, ditempel bergandengan. Ada kalung bunga-bunga yang melingkar di atas gambar itu. Di hadapannya setumpuk sesaji, manisan, buah-buahan, dan gambar dewa-dewi lainnya. Sang ibu, berpakaian sari warna ungu, duduk di hadapan altar. Suami dan anak-anaknya bersila di sekelilingnya.

 

Sebelum acara puja dimulai, tangan kiri saya digelangi seutas benang berwarna merah kuning. Benang ini disebut mouli, selalu hadir dalam acara sembahyang orang Hindu. Pemasangan mouli adalah untuk menerima pemberkatan dari Dewa. Hanya perempuan kasta Brahmin saja yang boleh memasang di pergelangan tangan kanan. Tuan rumah juga memasang mouli di pergalangan tangan sepupu Aman yang Muslim. Kami berdua langsung duduk bersila di belakang keluarga Hindu ini.

 

Diwali Puja, untuk mendapatkan berkah di tahun baru. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Masing-masing mereka memegang sebatang dupa yang ujungnya api memercik seperti kembang api. Mereka melantunkan mantra yang berirama seperti lagu yang lembut dan monoton. Dupa itu dipegang dengan tangan kanan, diputar-putar sepanjang alunan mantra. Setelah selesai, dupa ditancap di depan altar. Tuan rumah membubuhkan tika merah di atas dahi saya. Lagi-lagi, sepupu Aman yang Muslim juga menerima tika dari keluarga itu. Tika, yang sering menjadi ciri orang India dalam film Bollywood, sebenarnya adalah bagian dari ritual Hindu setelah melaksanakan puja.

 

Kembali saya dibonceng pulang oleh sepupu Aman. Kami melintas daerah kota kuno yang meriah oleh kelap-kelip lampu. Jaipur semakin ramai oleh ledakan petasan di mana-mana. Berkali-kali saya tersontak kaget oleh berondongan bunyi petasan yang tiba-tiba. Bocah-bocah melemparkan petasan ke tengah jalan. Sepeda motor kami hampir melintas di atas petasan yang tepat meledak. Ada pula petasan yang sudah disulut melayang persis di sebelah telinga saya. Sungguh berbahaya.

 

Saya masih ingin berbaur dengan kesukariaan penduduk Jaipur merayakan Diwali. Sepupu Aman mengkhawatirkan keselamatan saya. Ia ingin mengantar saya langsung pulang. Bagaimana pun juga saya adalah tamu hotelnya (yang cuma penginapan murah seharga 100 Rupee per hari). Tetapi akhirnya saya berhasil membujuknya untuk membiarkan saya berkeliaran sendiri di kota.

 

Perayaan Diwali penuh dengan api dan petasan. (AGUSTINUS WIBOWO)

 

Gang-gang kecil Jaipur sungguh indah di malam Diwali ini. Lilin mungil yang tersebar di berbagai sudut, gemerlap di atas mangkuk mungil diya dari tanah liat. Diwali adalah festival cahaya, di mana cahaya pencerahan nurani mengalahkan kegelapan dunia. Lilin kecil dan lentera kandil yang berkelip di sudut jalan melambahkan keteguhan terang nurani.

 

Semua orang tumpah ruah di jalanan Jaipur yang lurus dan teratur. Malam yang gelap menjadi terang benderang oleh semaraknya lampu jalan yang secara serentak dinyalakan. Segala macam jajanan ditawarkan di pinggir jalan. Juga ada berbagai permainan arena pasar malam.

 

Malam Diwali sungguh malam yang indah.

 

 

(Bersambung)

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Idaman_Group] Various Ports

 
__,_._,___

[Idaman_Group] Nelayan palestin di hadkan zon memukat kerana ambil kesempatan lancar roket ke israel.

 

Palestinian fishermen protest reduced fishing zone


Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.

Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
01/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
02/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
03/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
04/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
05/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
06/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
07/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
08/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
09/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
10/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
11/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
12/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
13/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
14/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
15/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
16/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
17/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.
Palestinian fishermen protest reduced fishing zone
18/18
Caption
Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.

Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack.

Palestinian fishermen take part in a protest calling for an increased fishing zone, at the seaport of Gaza City April 7, 2013. Israel suspended part of a Cairo-brokered truce agreement by halving Palestinian access to fishing waters in response to a rocket attack from the Gaza Strip last month, officials said.

Submitted by
Majdi Fathi
Gaza, Palestinian Territory, Middle East

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Idaman_Group] Antara serigala dan 2 ekor singa

 


Oleh LIM HONG SIANG

TATKALA satu Malaysia hangat membincangkan kemungkinan pertukaran kerajaan Persekutuan dalam PRU13, "majoriti dua pertiga dalam Parlimen" pula dijadikan sasaran oleh pemimpin Umno-Barisan Nasional.




Sama ada bekas Perdana Menteri seperti Mahathir Mohamad dan Abdullah Ahmad Badawi, ataupun yang bakal menjadi bekas PM, Najib Razak terus mengulangi keyakinan dan harapan mereka agar BN mampu mengembalikan majoriti dua pertiga dalam Parlimen.

Padahal, kejayaan menawan 140 daripada 222 kerusi Parlimen dianggap sebagai prestasi yang cukup baik, seandainya berlaku di negara demokrasi yang lain.

Bayangkan, kira-kira 63% kerusi Dewan Rakyat ditempah atas tiket BN. Tetapi keputusan PRU12 pada malam 8 Mac 2008 disambut BN sendiri seolah-olah mereka kalah teruk dan menjadi pembangkang di peringkat Persekutuan. Barangkali mereka sedar akan hakikat bahawa undi popular yang diraih BN hanyalah 51.4%.

Maka pimpinan Umno-BN terus menegaskan betapa pentingnya bagi sesebuah kerajaan untuk menguasai majoriti dua pertiga dalam Parlimen. Tanpa majoriti dua pertiga kerajaan akan menjadi lemah. Menurut logik ini, seandainya sesebuah kerajaan menjadi lemah, maka ia akan dicabar oleh rakyat.

"Kerajaan kuat" cuba dijadikan "mitos" dalam masyarakat. Mitos ini sedikit sebanyak berunsur "perkauman", lebih-lebih lagi apabila keluar dari bibir Mahathir. Beliau cuba menyamakan "kerajaan" dengan "Melayu", dan makna tersirat yang ingin disampaikan adalah, kerajaan yang lemah akan menjurus kepada situasi di mana kedudukan Melayu bakal dicabar oleh orang bukan Melayu. Malah, persaingan antara Umno-BN dengan PAS-KEADILAN dalam Pakatan Rakyat, bakal melemahkan kedudukan Melayu.

Perdebatan ini agak meleset kerana kita sedar kerajaan yang kuat inilah yang mengkhianati mandat yang diberikan rakyat. Kerajaan yang kuat ini tidak mempertahankan masa depan anak-anak kita apabila Lynas masuk dan meninggalkan sisa nadir bumi yang beracun di Kuantan.

Maka lebih baik kita ambil iktibar daripada satu cerita yang memberi gambaran apakah hikmahnya di sebalik "sistem dua parti", yang hangat dibincangkan sekarang.

Maka Pencipta pun memberi pilihan kepada dua kumpulan kambing. Mereka akan diberikan seekor serigala, atau dua ekor singa secara bergilir.

Kumpulan kambing A memilih serigala, kerana dianggap kurang ganas berbanding singa. Kumpulan kambing B pula memilih dua ekor singa, dengan seekor daripadanya ditahan di atas gunung, dan boleh ditukar ganti mengikut kesukaan kambing.

Maka serigala mula menyerang kumpulan kambing A. Seekor kambing diperlukan untuk mengisi perutnya setiap tiga hari. Untuk kumpulan kambing B pula, singa itu membaham dan memakan seekor kambing setiap hari.

Kambing B hidup dalam ketakutan tetapi gagal membuat apa-apa. Selepas seminggu, iaitu setelah tujuh ekor kambing dikorbankan, maka kumpulan kambing B meminta agar singa pertama ini ditahan di atas gunung. Pada masa yang sama, singa kedua yang asalnya ditahan itu, terpaksa dibebaskan.

Tanpa diduga, singa kedua yang sudah seminggu kelaparan itu bertindak lebih ganas. Tiga ekor kambing dibahamnya pada hari pertama.

Maka kumpulan kambing B menyesal, kerana dalam tempoh lapan hari, 10 ekor kambing terkorban, sedangkan hanya tiga ekor kambing di kumpulan A yang dimakan.

Dengan segera kambing B meminta agar singa kedua dihantar balik, dan dibebaskan singa pertama. Keadaan tidak berubah. Singa pertama mengekalkan tabiatnya untuk memakan seekor kambing setiap hari.

Maka kumpulan kambing B mula memikirkan sesuatu untuk mengubah nasib dirinya.

Mereka mengekalkan singa pertama, dan dibiarkan singa kedua kelaparan untuk satu tempoh yang panjang, sehingga singa kedua merayu kepada kambing agar dirinya dibebaskan.

Maka kumpulan kambing B berunding dengan singa kedua, menetapkan syarat bahawa singa kedua perlu mengurangkan makanannya kepada seekor setiap dua hari, malah kumpulan kambing B akan membekalkan "kambing yang sakit" untuk dimakannya.

Syarat ini dipatuhi, maka singa pertama ditahan semula dan singa kedua dibebaskan.

Tetapi, adakah kumpulan kambing B berpuas hati dengan singa kedua selepas syarat ini dipatuhi, dan membiarkan singa pertama mati kelaparan di atas gunung?

Semestinya tidak. Ini kerana kumpulan kambing B menyedari bahawa singa kedua sanggup mematuhi syarat ini kerana tahu dirinya akan ditahan semula jikalau mungkir janji.

Seandainya singa pertama mati, maka singa kedua itu tidak mempunyai pesaing lagi, dan akan bermaharajalela. Oleh itu, singa pertama dan kedua dibebaskan dari gunung secara bergilir-gilir, mengikut penilaian kumpulan kambing B.

Kedua-dua ekor singa sedar, nasib diri mereka kini ditentukan kambing. Mulai hari itu, bilangan kambing yang terkorban dalam kumpulan B, berjaya dikurangkan.

Sebaliknya, kambing kumpulan A mula berdepan dengan masalah.

Serigala itu sedar bahawa dirinya satu-satunya serigala, dan tidak boleh dihukum oleh mana-mana pihak. Nafsunya semakin meningkat.

Kambing diburu, digigit hanya untuk menghisap darahnya, dan kemudian dibuang mayatnya begitu sahaja. Tiga ekor kambing kumpulan A dibunuh setiap hari, hanya untuk darahnya.

Tetapi, kumpulan kambing A gagal melakukan apa-apa, kerana mereka gagal menghukum serigala tersebut.

Demikianlah ceritanya yang tersebar luas di ruang internet, memberi gambaran terbaik bagaimana sistem dua parti menguntungkan rakyat.

Kerajaan diandaikan serigala/singa yang bakal mengancam kepentingan rakyat, iaitu kambing.

Kepentingan kambing tidak terjamin dengan seekor serigala yang kurang ganas, tetapi keupayaan kambing untuk menentukan nasib dua ekor singa ganas yang sedang bersaing!


__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___

[Idaman_Group] Lempang kerana di raba punggung adalah bersalah di sweden.

 

Inline image 1


REPUBLISHED FROMMAR 28, 2013 3:48 PM  0

Woman Convicted of Assault After Slapping Guy Who Grabbed Her Ass

A district court in Sweden determined that a 23-year-old woman was subjected to "serious provocation" before slapping a man for allegedly grabbing her ass, but found her guilty of assault nonetheless.

The 23-year-old maintains that she acted in self-defense when she slapped the 27-year-old butt-touching suspect last Summer at a nightclub in Lund, but the Lund District Court decided that her physical retort — which was apparently strong enough to break the man's nose — was too lopsided to constitute self-defense.

The man had sued the woman, demanding $3,800 in damages, but the court reduced the amount to $286 in addition to a fine of $380.

The woman was also given a suspended sentence.

"This goes to show that it's okay for guys to grab girls any way they want," the woman told the local Metro paper.

[H/T: Arbroathphoto via Shutterstock]

Republished from http://gawker.com

__._,_.___
Recent Activity:
.

__,_._,___